Ranjang.

Jum’at malam, iseng nyobain naik MRT. Start dari bundaran HI dgn tujuan akhir stasiun Lebak Bulus.

Sy memilih gerbong keempat. Kosong. Masih bisa bebas selfie dan foto2 buat postingan IG. Keren. MRT nya bener2 bersih dan masih mulus.

Di pemberhentian stasiun BNI Sudirman, disinilah cerita bermula. Seorang wanita cantik masuk gerbong keempat. Pakaiannya agak seronok. Anggun dan wangi. Rok selutut menambah pesona cantiknya. Langsung duduk dgn menaikkan lutut kanan menyilang kaki kirinya. Nampak lutut kanannya masih putih mulus.

Duduknya pas di samping kanan saya. Jemarinya asyik memainkan HP berbalut pink blink-blink. Sy mencuri-curi pandang. Dia sesekali tersenyum saat kami berpandangan mata tanpa sengaja. Semoga aja dia ga nganggap sy lagi ber-akal bulus.

“Mau turun dimana mbak?” Tanya sy basa-basi buka percakapan.

“Di lebak bulus mas.”

Waduh..responnya luar biasa. Sy dipanggil mas. Makin semangat nih. Semoga aja dia menyapa dgn tulus.

“Ini balik kerja atau sekadar jalan2 ?” Tanya sy lagi

“Iya nih mas. Mau ke hotel deket sana.” Sambil nunjuk ga jelas.

“Ohh..ada janjian atau kerja di hotel?”

“Sy kerjanya di hotel mas.”

Percakapan smkn menarik. Sudah dua stasiun terlewati tanpa terasa. Mungkin karena suara MRT bener2 gak berisik, halus.

“Jangan2 mbak GM hotelnya yaa,” pancing saya sembari main tebak2an.

“Ah..gak lah mas. Sy di bagian urusan kamar hotel aja. Nge-jaga tamu2 agar tetap puas. Yaa, soal ranjang kan sensitif mas,” jawabnya agak genit.

Jdeerr…Ranjang?

Sy mulai penasaran. Perasaan urusan bebersih kamar, biasanya lgsg oleh room service hotel. Apa hubungannya dgn mbak di samping sy ini? Kasus.

MRT yg kami tumpangi berhenti di stasiun Fatmawati. Dalam gerbong keempat, tinggal kami berdua. Artinya, stasiun akhir semakin dekat, Lebak Bulus.

“Hhmm..eehh..apa ya. Sy masih penasaran lho. Urusan ranjang tuh maksudnya gimana?” Gali sy bergaya planga-plongo.

“Hehe..ah mas kayak ga tau aja. Yaa..sy hrs memastikan tamu bisa tidur pulas. Kalau pulas, berarti dia puas dgn layanan ranjang kami.”

“Sory…kenapa sy tiba2 jd mata keranjang yaa. Abis mbaknya cerita ranjang melulu.”

Dia tertawa lepas. Mukanya yang cantik nampak semakin tirus.

“Ah..mas nya bisa aja. Tugas sy tiap hari memastikan ranjang yg ada tetap bersih dan empuk. Enak diajak tidur gitu mas.”

“Wow,” seru sy singkat sambil manggut-manggut.

Tak lama kemudian, MRT sdh tiba di stasiun akhir Lebak Bulus.

Awalnya sy pengen ajak turun bareng. Kalau perlu temenin ke hotel sekalian. Namun, dia buru-buru jalan, pdhl dr stasiun tinggal jalan lurus.

“Sory mas, sy hrs buru-buru. Ada WA dari boss. Rupanya ada tamu yg komplen. Bed-cover dan sepreinya ada noda darah. Hrs segera sy cek dan ganti. Sampai jumpa ya mas.”

Sy terdiam dan berhenti. Sebenarnya mbak cantik ini kerjanya apa? Dari tadi ceritanya panjaaang soal ranjang. Tiba2 soal kasur berdarah. Wiiihhh. Serem. Jangan2 dia mahluk halusss.

(Daeng_Acid : penerbangan GA 204 , 03/08/19)

Mantuy.

Jika ingin menyampaikan sebuah kejujuran, menulislah.

Jika ingin menutupi sebuah kebohongan, menulislah.

Jika takut menuliskan fakta secara jujur atau takut menyampaikan kebohongan, mengaranglah.

Jika ingin menyenangkan atau membuat org lain sedih, mengaranglah.

Rupanya, kata Om Hariadhy : “Jika ingin mendapatkan duit, menulislah.”

Mantuy (plesetan mantulll).

my Bus is my Life #08

Rabu, minggu ketiga Mei.

Siang ini, kepala saya terasa berat. Entah, kolesterol yang naik atau karena lagi banyak pikiran. Mulai pagi hingga siang, saya sedang ada meeting di Citiwalk Sudirman. Dari kos-kosan, saya memilih naik bus-way karena relatif lebih lancar. Naik di depan hotel sentral, lalu transit di dukuh atas. Nyambung lagi menuju halte depan sahid hotel.

Jam 15.00 wib, saya memutuskan untuk pulang ke jakarta timur. Kembali rute yang saya pilih adalah busway. Karena saya naiknya di Dukuh Atas, jadi bisa duduk paling depan.

Setengah perjalanan, bus yang saya tumpangi berjalan dengan agak aneh. Saya-pun melirik pak Sopir. Lhaa, ternyata sang sopir sedang mangantuk. Pantesan agak jedut-jedut jalan bus ini.

Pas lampu merah, eh sang Sopir memejamkan mata sejenak. Saya pribadi cukup kasian juga dengan pak Sopir ini. Bukankah mengantuk adalah hal manusiawi?

Akhirnya saya men-dehem cukup keras yang membuat sang sopir terbangun. Bus-pun kembali berjalan normal. Yang penting, saya bisa tiba dengan selamat.

my Bus is my Life #07

Selasa, minggu ketiga Mei

Saya sering menertawai diri sendiri. Setiap kali berdiri menunggu bus didekat kos-kosan, posisi berdirinya pas tangga turun. Dan dekat tangga turun inilah, sebuah rambu lalu-lintas berdiri tegak. Tulisannya-pun cukup mencolok, “Dilarang Stop sampai rambu berikutnya”.

Lha, yang berdiri disini cukup banyak. Kami seolah-olah tidak bisa membaca rambu tersebut. Berarti saya termasuk warga yang tidak taat aturan dong. Padahal saya sendiri suka ngomel setiap melihat pengguna jalan yang tidak taat aturan. Sekarang justru menjadi kebiasaan sehari-hari. Setiap hari melanggar aturan karena berdiri menunggu bus tepat dibawah rambu dilarang Stop!

Sekitar lima belas meter dari posisi saya berdiri ini, terdapat sebuah pos polisi. Saban pagi, petugas polisi-pun selalu sigap mengatur prapatan yang sangat padat ini. Bahkan tidak jarang menghalau kendaraan yang berhenti diposisi saya ini.

Namun ada yang aneh juga, karena tepat dibawah rambu berikutnya, ada halte untuk menunggu bus. Lha, koq ada halte tapi diatasnya terpampang rambu “Dilarang STOP”. Jadi halte ini untuk siapa? Apakah ini yang menjadi pembenaran buat kami para penumpang untuk menghentikan laju bus kota ini?

Dari pada saya dililit kebingungan, mending saya segera melompat naik ke bus yang sudah datang. Yup, jangan lupa kaki kanan duluan.

my Bus is my Life #06

Senin, Minggu ketiga Mei.

Mata ini masih sangat berat. Saya baru tiba dari Bandung. Kali ini saya memilih Kereta Api Argo Parahyangan jam 04.00 wib. Awalnya saya berharap bisa menikmati perjalanan dengan tidur nyenyak, namun apa daya, penumpang disisi saya jutsru tidurnya sangat mengganggu. Ngorok sepanjang rel (rute cimahi-bekasi). Hendak menegur, cuma khawatir dan kasihan juga karena usia Bapak ini cukup berumur. Sudahlah, nikmati saja.

Jam 07.10 wib, kereta masuk stasiun Jatinegara. Saya langsung memilih ojek untuk mengantar ke kantor di prumpung. Tiba-tiba, hape saya mengirimkan sinyal sms, saya harus menghadiri meeting di kawasan jakarta selatan. Saya belum sempat masuk kantor, akhirnya saya belok kanan menanti bus hijau kesayangan untuk ke lokasi meeting.

Tak lama, sebuah bus hijau melambat didepan saya berdiri. Penumpang lumayan ramai dan ternyata masih ada kursi kosong diposisi tengah. Saya mencoba memejamkan mata sepanjang jalan, lumayan saya bisa tertidur sejenak.

Tiba-tiba saya terbangun, karena penumpang di depan saya -seorang pemuda dan pemudi- tengah bertengkar. Entah apa yang mereka pertengkarkan. Sang pemudi memaksa hendak turun ditengah perjalanan. Beruntung bus ini tidak masuk jalur tol.

Sang pemuda berusaha menenangkan untuk turun dilokasi yang mereka inginkan. Sambil sesenggukan, pemudi tadi memalingkan mukanya kearah jendela. Sepertinya dia marah besar sama pemuda ini. Apakah mereka sepasang kekasih atau suami-istri? Entahlah.

Sekitar satu jam, tiba juga saya di kantor tujuan. Cukup macet memang pagi ini. Maklum setiap senin pagi, Jakarta terasa macet dimana-mana. Biasa, hari pertama kerja. Meski sebahagian orang mengatakan I don’t like monday, bagi saya hari ini adalah surprising monday.

my Bus is my Life #05

jum’at, minggu kedua Mei.

Sudah dua minggu saya tidak pulang ke Bandung. Rasa rindu sama keluarga tak tertahankan. Malam ini saya putuskan untuk segera pulang, meski harus ikut rapat hingga larut. Biasanya, Jum’at malam selalu macet.

Angka Jam dinding (digital) menunjukkan 23.16 wib, saya bergegas mengambil tas ransel hitam untuk mengejar bus kota di terminal Rawamangun. Di depan kantor, saya menunggu bus hijau jurusan pulogadung-rawamangun.  

Sepuluh menit kemudian, bus hijau yang saya tunggu-pun tiba. Saya segera melompat naik, karena bus ini tidak berhenti sama sekali, hanya melambat. Mungkin karena sudah larut, ternyata penumpangnya gak penuh. Meski sudah larut, ternyata laju bus masih tertahan macet.

Sekitar empat puluh lima menit kemudian, bus-pun tiba di terminal rawamangun. Kondisi terminal cukup gelap. Keramaian calon penumpang-pun mulai surut. Lumayan menyeramkan juga. Karena beberapa lelaki seperti preman entah calo teriak-teriak memanggil penumpang. Serem juga nih!

Saya berusaha mencari lokasi menunggu yang terang, agar merasa aman. Lama juga menunggu datangnya bus yang jurusan Jkt-Bandung. Syukurnya, seat bus ini ternyata baru terisi setengah.

Tanpa terasa, bus-pun masuk terminal Leuwi Panjang. Jam menunjukkan angka empat subuh. Wah, bus ini berjalan selama empat jam. Selama itu pula saya tertidur. Padahal melalui jalur tol cipularang.

my Bus is my Life #04

Kamis, minggu kedua Mei.

Jarum jam tangan saya menunjukkan angka sebelas. Ya, malam ini, waktu meeting mencapai jam sebelas malam. Saya segera bergegas keluar kantor untuk mencari bus hijau menuju kos-kosan. Hari ini saya meeting di daerah tomang, jaraknya lumayan jauh dari kos-kosan. Saya harus naik tiga kali untuk kembali.

Saya menunggu dibawah tangga penyeberangan yang menghubungkan Mal Taman Anggrek. Sekitar empat menit kemudian, datanglah bus hijau. Tampaknya bus tersebut masih baru, mungkin karena baru saja re-kondisi.

Saya-pun naik, dengan target pertama daerah cawang. Masuk daerah slipi, naik tiga anak muda pengamen. Mereka cukup kreatif dengan membawakan lagu ST-12. Sangat harmoni. Lagunya sangat enak didengar. Satu orang membawa gitar, satu lagi megang “kerincing”, dan yang terakhir membawa gendang. Kompak dan apik tenan.

Tiba di Semanggi, sopir bus yang saya tumpangi mulai membunyikan klakson buat bus hijau didepannya. Mungkin bus tadi terlalu lama mangkal disana. Entah kondekturnya ngomong apa ke kondektur bus depan, koq, tiba-tiba mereka turun dan bergumul pas depan bus yang saya tumpangi.

Bergumul one on one, gak ada keroyokan. Saya sendiri miris melihat pemandangan ini. Sang sopir lalu bergegas turun untuk melerai mereka, setelah beberapa penumpang berteriakn agar dilerai.

Kasihan, darah-pun bercucuran di pelipis kondektur bus yang saya tumpangi. Sambil ngedumel, dia menyeka mukanya dari cucuran darah. Ya, malam itu, hal sepele ternyata begitu mudah menjadi pergumulan. Berdarah pula, meski hanya di pelipis. Semoga tidak menjadi dendam diantara mereka.

my Bus is my Life #03

Rabu, Minggu Pertama Mei.

Pagi ini, cuaca agak mendung. Khawatir juga rasanya, bus idola saya belum tiba juga. Ditambah, sepertinya gerimis segera turun. Beberapa calon penumpang mulai bergeser dari tempatnya semula, mencari tempat bernaung. Saya-pun terpaksa mencari tempat bernaung agar pakaian tidak basah.

Sepuluh menit kemudian, dari seberang jalan, bus hijau tersebut sedang menanti lampu merah. Beberapa calon penumpang berlari-lari kecil segera menaiki bus tersebut. Saya hanya berdiri termangu, sambil memperhatikan derai gerimis yang sudah mulai berkurang.

Akhirnya bus hijau tua, berhenti lima meter disisi kanan saya. Saya-pun beranjak menuju pintu depan. Yup. Ternyata masih banyak kursi kosong. Saya memilih duduk dibangku pertama.

Tiga orang dibelakang saya, naik seorang bapak separuh baya sambil memanggul sebuah kotak yang berfungsi sebagai speaker, pemutar kaset dan mic. Bapak tersebut mulai menyalakan alat musiknya, meski suara musiknya sangat serak dan pecah. Entah karena dibuat asal-asalan atau karena sudah tua. “Penumpang yang terhormat, ijinkan saya membawakan sebuah lagu”.  Alunan musik dangdut mulai terdengar. Rasanya saya cukup familiar dengan lagu tersebut, yaa, “Menunggu” lagu Bang Haji Rhoma Irama yang dipopulerkan kembali oleh Ridho Rhoma.

Tanpa terasa, saya sudah harus turun. Meski lagu bapak tersebut belum selesai, ya karena saya senang, selembar seribuan masuk ke kantong Bapak tersebut.

Hari ini, meski cuaca mendung, saya masih bisa tersenyum. Entah karena lagu Bapak tadi atau karena dapat bangku pertama?

my Bus is my Life #02

Selasa, Mei Minggu pertama.

Hari ini, saya agak terlambat masuk kantor. Sehari sebelumnya, saya harus ikut rapat hingga larut malam. Serangan kantuk sulit saya tahan sehingga terpaksa saya terlambat bangun pagi ini.

Karena mengejar waktu, saya memilih bus yang ada saja. Bukan bus rute yang selama ini saya gunakan. Entah karena bus ini, bus hasil hibah dari negara sahabat, sepertinya jepang. Sehingga dari sisi kecepatan, jauh melebihi bus yang sering saya tumpangi.

Saya memilih berdiri dibelakang. Kebetulan seluruh kursi juga sudah penuh. Bus-pun melaju dengan cepat dengan mengambil rute bus-way yang masih kosong.

Melewati jembatan Jatinegara, seperti biasa, saya sudah siap-siap turun. Minggir Bang, demikian permintaan saya kepada kondektur. Saya bingung, bus bukannya berhenti dipinggir, tetapi bus hanya melambatkan kecepetan pada jalur bus-way dan saya diminta siap-siap  turun.

Saya-pun bersiap turun seraya menunggu kecepatan bus melambat atau menghampiri berhenti. Walah, berhentinya bukan disisi kiri jalan raya, tetapi tetap di jalur bus-way. Terpaksa, dengan berhati-hati saya melompat turun.

Saya sangat merasa tidak nyaman turun dijalur ini, maklum disisi kiri jalan, masih banyak pengendara yang melajukan kendaraan dengan cukup cepat. Yaa, mungkin bus ini memang tidak boleh berhenti di halte depan kantor atau sedang terburu-buru mengejar penumpang pagi. Wallahu a’alam.

My Bus is My Life #01

Senin, Minggu-I Mei 2010

Pagi ini saya harus mengikuti meeting di kantor. Mulai jam 05.50 wib, saya bergegas meninggalkan kos-kosan menuju jalan raya untuk menanti bus hijau yang biasa saya tumpangi.

Jam 06.15, bus hijau sudah berada didepan saya. Langsung naik dengan kaki kanan duluan, ini adalah pelajaran pertama dari sobat saya tentang cara naik bus di Jakarta. Maklum, bus-bus ini tidak pernah berhenti sempurna dalam menaikkan ataupun menurunkan penumpang.

Saya mendapat tempat di depan, sambil bergelantungan karena pagi itu, penumpang lagi penuh. Saya hanya memperhatikan beberapa penumpang disisi saya. Seorang ibu tua. Herannya, koq tidak ada penumpang yang memberikan kesempatan ibu tua ini untuk duduk. Saya berpikir mungkin karena penumpang yang mendapat kursi, sedang menikmati tidur. Sehingga tidak peduli dengan penumpang lainnya.

Lima belas menit kemudian, tujuan saya sudah tiba. Sang kondektur teriak-teriak, prumpung-prumpung-prumpung. Sayapun segera bergegas menuju pintu depan. Hati-hati pak, pakai kaki kiri duluan, begitu pesan kondektur yang ada disamping saya. Yup. Saya turun dengan mulus pakai kaki kiri.